Kamis, 28 Maret 2024 | MasjidRaya.comTentang Kami | Kontak Kami
MasjidRaya.commedia silaturahmi umat
Mimbar
Hasan Arif, Pemberontak dari Cimareme (2)

Menolak Kewajiban Jual Padi

Senin, 21 Agustus 2017

MRB - Pecahnya Perang Dunia I (1914-1918), telah menambah keparahan kondisi ekonomi dunia. Buruknya situasi ekonomi, tidak saja dirasakan langsung oleh negana-negara pelaku perang, tetapi juga negara lain seperti Indonesia sebagai daerah koloni Belanda. Sejumlah referensi menyebutkan, saat itu hasil bahan mentah dari Indonesia menumpuk dan tidak dapat diekspor. Kehidupan rakyat semakin sengsara. Persediaan terus menipis. Seperti umumnya daerah lain, Cimareme pun mengalami penderitaan serupa.

Beberapa tahun lampau, saya sempat bertemu dengan salah seorang cucu Hasan Arif bernama Maolani. Meski waktu itu usianya sudah mendekati 90 tahun, namun masih tampak bugar dan daya ingatnya kuat. Dia banyak bercerita tentang perjuangan sang kakek dan suasanan kehidupan masyarakat masa itu.

“Kakek saya terbilang orang berada. Untuk kebutuhan hidup, memiliki 10 bahu sawah. Mungkin karena ekonomi keluarga cukup stabil dan ketokohannya, jika musim paceklik tiba warga sekitar berduyun-duyun ke rumah kakek meminta bantuan makanan,” tutur Maolani yang akrab dipanggil Eyang. Hasan Arif sendiri memiliki 12 anak. Saat kejadian, Maolani berusia sekitar 8 tahun. (Catatan, satu bahu adalah 500 ubin. Sementara satu ubin/tumbak sekitar 14 meter persegi).

Kondisi masyarakat seperti itu, membuat Hasan Arif prihatin, dan menambah keyakinannya untuk terus melawan Belanda. Di tengah bahaya kelaparan yang melanda rakyat, pada 1918 pemerintah kolonial Belanda menerapkan peraturan wajib jual padi. Para petani dipaksa menjual padi kepada pemerintah sebanyak 4 pikul (6,5 kg) untuk setiap satu bahu (700 m2 atau 50 tumbak).

Pemasyarakatan wajib jual padi di Cimareme, dilakukan lurah desa setempat, Wiraatmadja, yang rumahnya bersebelahan dengan kediaman Hasan Arif. Menurut keterangan, hubungan keduanya memang kurang baik, disebabkan perbedaan sikap terhadap penjajah. Dengan tegas, Hasan Arif, menolak kewajiban jual padi. Karena akan mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sulit. Meskipun bagi dia sendiri, sebetulnya hal itu tidak memberatkan. Hasan Arif meminta agar sikapnya itu disampaikan kepada Camat Banyuresmi.

Sebenarnya bukan baru saat itu saja, api perlawanan secara terang-terangan disulut Hasan Arif. Tapi juga ketika Belanda akan membangun jalan baru dengan membendung Situ Cibudug, saat dia masih berusia remaja. Tindakan penjajah Belanda akan menyebabkan sawah-sawah di Desa Sukasari, Leuwigoong dan Dungusiku akan kekurangan air. Hampir saja dia ditembak kontrolur Belanda yang sudah menodongkan pistolnya.

Kepada Camat Banyuresmi, Hasan Arif kembali menandaskan keberatannya. Diusulkannya, agar setoran empat pikul per bahu dikurangi menjadi satu pikul per bahu. Namun camat tetap bersikeras pada putusan pemerintah. Ketika camat pulang dengan penuh kekesalan, Hasan Arif amat menyadari bagaimana posisinya saat itu.

Dalam situasi yang semakin gawat, Hasan Arif masih menawarkan jalan damai dengan berkirim surat kepada Bupati Garut RAA Suria Kartalegawa. Isinya, memohon agar pemerintah mempentimbangkan usulan masyarakat Cimareme. Menunggu jawaban dari bupati, Hasan Arif menyiapkan seluruh kekuatan. Termasuk meminta bantuan dari kawan-kawannya di Ciamis, Tasilmalaya, Cirebon, Karawang dan lain-lain.

Bukan jawaban bupati yang diterima warga Cimareme, namun yang datang justru Wedana Leles, R. Kusumahardja. Wedana mengancam akan menembak mati Hasan Anif jika tidak melaksanakan ketentuan jual padi kepada pemenintah. “Saya hanya menuntut keadilan dan berupaya meringankan penderitaan nakyat,” ujar Hasan Arif, seperti terdapat dalam buku-buku yang menuliskan perjuangannya.* Enton Supriyatna Sind - MasjidRaya.com


KATA KUNCI:

BAGIKAN
BERI KOMENTAR