Selasa, 16 April 2024 | MasjidRaya.comTentang Kami | Kontak Kami
MasjidRaya.commedia silaturahmi umat
Mimbar
Hasan Arif, Pemberontak dari Cimareme (3-Tamat)

Yang Gugur, Terluka dan Dihukum

Selasa, 22 Agustus 2017

MRB - Sepulang dari pertemuan dengan Hasan Arif, Wedana membuat laporan kepada Bupati Garut yang menyebutkan, tokoh dan warga Cimaneme akan melakukan pemberontakan. Bupati meneruskan laporan itu kepada Asisten Residen Garut, L. van Weeldern, yang menyampaikannya kembali kepada Residen Priangan Timun, Jhr. L. Dc. Steurs di Bandung.

Kubu Hasan Arif pun tidak tinggal diam. Mereka mengumpulkan senjata-senjata tajam, dan mengenakan kain putih yang digunakan sebagai jubah. “Jika seseorang mati dalam pertempuran nanti, maka kain putih ini sudah berlaku sebagai kain kafan pembungkus jenazah,” ujan Hasan Arif kepada pengikutnya. Dalam musyawanah terakhir, melawan sekuatnya kepada penjajah Belanda disepakati secara bulat.

Jumat 9 Agustus 1918, sejak pukul 09.00 di Cimareme tampak pemandangan yang luar biasa. Sekitar 6.000 orang berasal dari berbagai daerah di Jabar sudah berbaris memakai kain putih, lengkap dengan senjata tajam. Mereka sudah tahu pemerintah Belanda akan menangkap Hasan Arif dkk. Karena itu perlawanan akan dilakukan. Sedangkan dari pihak Belanda hanya datang sekitar 60 orang Veld Politie (Polisi Desa). Tampak pula Asisten Residen, Bupati Garut, penghulu dan lainnya.

Catatan-catatan yang bersumber dari pihak Belanda menyebutkan, keadaan saat itu benar-benar tegang. Hasan Arif herdiri di serambi rumahnya dengan pakaian putih-putih, menanti kedatangan romboñgan Asisten Residen. Hasan Arif dikawal tiga pemuda yaitu Wijatna, Suwardi dan Nurhamid. Ada pula Atmaka dan para kiai sahabatnya.

Dalam suasana panas, kembali terjadi perundingan antara Hasan Arif dengan asisten residen tentang jual padi. Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan, Bupati berjanji akan membawa usulan Hasan Arif kepada pemerintah di Batavia (Jakarta). Tapi terlebih dahulu bupati meminta agar warga yang hadir bubar, dan pulang ke tempat masing-masing.

Ternyata niat baik warga untuk membubarkan diri, dijadikan kesempatan penjajah untuk melaksanakan niat busuknya. Terbukti, dua hari setelah itu sejumlah marsose dari Bandung tiba di Garut bersama residen. Kubu Hasan Arif sendiri, tidak dalam keadaan siap perang. Tenaga bantuan sudah pulang ke daerah masing-masing.

Sebanyak 300 orang marsose, pada Senin 12 Agustus 1918 menerobos keheningan Kampung Cimareme dan mengepung rumah Hasan Arif. Sebagian lagi melakukan razia ke rumah-rumah penduduk. Marsose mengultimatum agar Hasan Arif menyerah. Tembakan-tembakan mulai terdengar. Lalu sejumlah pasukan mendobrak pintu rumah. Hasan Arif yang tengah shalat sunat ditembak dan wafat seketika.

Menurut catatan, sebanyak tujuh orang gugur dalam penyerangan itu yakni Hasan Arif, Haji Bakar, Intasim, Sukanta, Engko, Udin dan Saedi. Mereka dimakamkan di Pasir Astana Gabus, di selatan Kampung Cimareme. Sementara itu 22 orang luka akibat tembakan dan 33 orang lainnya ditawan. Proses hukum dilakukan pada tahun 1919, setelah pihak keluarga dengan gigih mengusulkan kepada Gubernur Jenderal di Bogor untuk memproses tawanan sesuai hukum.

Hukuman dijatuhkan antara lain kepada H. Gozali (15 tahun penjara di P. Ai dan hingga sekarang tidak diketahui kabarnya), Atmaka, Haji Manan, Haji Manaf, dan H. Hasanudin, (masing-masing 5 tahun di Sawahlunto, Sumbar), H. Syamsuri dan Wiguna (5 th di Glodok Jakarta). Masih banyak lagi yang menjalani hukuman penjara setelah peristiwa Cimareme.* Enton Supriyatna Sind - MasjidRaya.com


KATA KUNCI:

BAGIKAN
BERI KOMENTAR